Kakek yang Sendiri

Dua Hari sebelum malam takbiran, Masjid Agung didekat rumah saya sudah mulai melakukan pendistribusian zakat fitrah kepada warga - warga sekitar masjid yang termasuk kedalam kriteria mustahik zakat. Saya diberikan tanggung jawab untuk menjadi petugas Amil Zakat pada kesempatan tahun ini. Saya bertugas mendistribusikan beberapa kantong beras yang sudah dikemas kedalam kantong kresek. Pada saat jam 9 malam setelah sholat Tarawih selesai dilaksanakan. Saya dengan teman saya mulai meletakkan beberapa kantong beras kedalam karung besar untuk diangkut dengan menggunakan sepeda motor untuk setelahnya didistribusikan. Setelah mendapatkan secarik kertas bertuliskan nama - nama warga yang akan dituju. Saya mengangkat karung besar berisi beras tersebut keaatas motor saya dibantu oleh seorang teman saya yang bernama Ansori. Setelah teman saya naik dibelakan, dan memeluk karung tersebut erat, saya hidupkan sepeda motor dan memulai perjalanan kami. Beberapa rumah kami masuki, beberapa kantong beras sudah diterima oleh para mustahiknya. Singkat saja tak perlu basa - basi karena waktu sudah larut malam. Dan tibalah kami dirumah tujuan terkahir kami. Rumah tersebut terletak ditengah kebun yang lumayan luas untuk ukuran saat ini. Rumah tetangganya berjarak sekitar 60 meter baik dikanan, kiri, depan maupun belakang. Rumah itu sendiri ditengah kebun tersebut seperti siempunya yg sendiri. Ternyata rumah tersebut ialah rumah kakek wismo. Seorang kakek yang dulunya sering mengembalakan kambing dilapangan sekolah dekat rumahku. Rumahnya gelap gulita baik diluar maupun didalam rumah. Rumah berdinding papan dan berlantai tanah. Hanya sebuah lentera bergoyang tertiup angin malam menghilangkan sedikit kelam. Kami turun dari sepeda motor sembari menurunkan karung beras tersebut dari jok motor dan kami letakkan ditanah. Teman saya mengambil sekantong beras, dan memulai langkahnya menuju pintu rumah kakek tersebut. Sementara saya asyik membenarkan posisi standar motor yang terlalu masuk kedalam tanah dengan mengganjalnya menggunakan batu. Setelah 5 kali salam tidak ada jua jawaban dari kakek wismo. Tapi kami yakin beliau belum tidur. Kami tahu karena lenteranya masih hidup. Kami mencoba menuju bagian belakang rumah. Betul, kakek Wismo ada dibelakang rumah sedang melihat kambing2nya yang ada dikandang. "Assalamualaikum Mbah" Ansori bersalam. "Waalaikusalam, Sinten Nggeh?", Mbah Wismo menjawab sekaligus bertanya. "Kulo Ansori kaleh Duki Mbah, Bade Nyaosi Zakat saking Masjid Agung" sahut Ansori. "Oh nggeh monggo pinarak teng mbajeng" Mbah wismo mempersilahkan kami menuju depan rumah. " Monggo mlebet mriki, pinarak" Mbah wismo mempersilahkan kami masuk.". "Enggeh maturnuwun mbah" Seraya menguluarkan tangan kanan kami untuk menjabat tangan mbah Wismo. "Sugeng Mbah?' Tanya kami kompak?. " Alhamdulillah, Sekunduripun?" Kakek balik bertanya. "Alhamdulillah Mbah" kami menjawab. Karena tak ingin lama - lama berbasa - basi aku memulai mengutarakan maksud kedatangan kami. "Mbah niki kulo Duki lan Ansori saking panitia amil zakat masjid raudotul muslimin bade nyaosi zakat fitrah kagem Mbah". "Oh nggeh maturnuwun, mugi - mugi gusti Alloh sing mbales pinten2 kesaean nggeh" Tegas Kakek Wismo. " Kami berdua mengamini " aamiin mbah, nggeh sami - sami". Tiba - tiba kakek Wismo matanya seperti menerawang sekejap, setalah itu dipandangnyalah wajah kami berdua, matanya agak berkaca - kaca saat ia memulai bercerita, " Mas, kulo niki ditinggal bojoku pun 15 tahun, kulo dewekan teng mriki, mboten wonten sing ngancani, kulo niko nek tangi saur jam 2 bengi, namung saurre jam setengah 4, soalle kulo ngliwet sego riyin mas nek bade sahur. Jane nggeh anak kulo niko celak saking mriki namung kulo isin bade nyuwun sekul saking anak kulo, sederek kulo nggeh wonten nek purun kulo nggeh saget nyuwun tapi kulo isin bade teng nggriyone, kulo wong melarat la sederek kulo niku wong mampu. Tapi mboten nopo - nopo kulo tabah mawon, lan tawakal kaleh gusti Alloh. Kadang repotte nek tasik sakit mas, pun ngurusi kiyambak, Alhamdulillah nggeh tasik saget". Kami hanya mendengar dan sekedar menjawab, "Nggeh Mbah". Setelah kakek Wismo selesai bercerita kami pamit dan kembali ke masjid untuk mengambil bagian yang lain. Demikian obrolan kakek wismo yang terkesan seperti curhatan laranya dan luapan gembiranya kakek Wismo karena malam itu untuk beberapa menit ia tidak sendiri ia kedatangan tamu yang bisa menjadi teman ngobrol baginya. "Open Ending, Silahkan Tafsirkan sendiri apa amanatnya. Yang jelas mungkin beberapa dari kita InsyaAlloh akan menjadi tua sama seperti kakek Wismo

Komentar

Postingan Populer